Setiap orang yang beriman pasti merindukan perjumpaan dengan Allah.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”
Apakah bisa dicapai, atau hanya dapat keindahannya..?
Setiap orang yang menuju pada Allah dan bersungguh-sungguh membenahi diri, baik secara lahir maupun batin disebut “salikin”. Salikin wajib memelihara diri dari segala maksiat lahir dan batin. Disamping juga harus melepaskan diri dari keterikatan pada sesuatu yang akan membatalkan ritual suluknya (perjalanan menuju pada Allah). Dan ia juga harus menghindar dari perkara yang akan mengakibatkan dirinya terbengkalai sampai kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Yang membatalkan
Adapun perkara yang membatalkan suluk sangat banyak, diantaranya:
Kasal, segan mengerjakan ibadah kendatipun mampu dan kuasa untuk mengerjakannya. Abu Zarr berkata: “Barangsiapa berperangai dengan kasal maka tak akan memperoleh kebahagiaan di dalam dunia maupun akhirat.”
Futuur, lemah mendirikan ibadah. Penyebab kelemahannya, karena hati selalu bimbang dengan berbagai persoalan hidup.
Malal, penjemu atau pembosan dalam melaksanakan ibadah, padahal belum berhasil mencapai suatu yang diharap atau dituju. Bosan dan jemu karena merasa monoton melakukan ibadah secara berulang-ulang.
Penyebab munculnya sifat-sifat yang membatalkan suluk seorang salikin, karena kurang iman, lemah keyakinan, buta mata hati dan selalu menuruti rayuan hawa nafsu dunia yang menggairahkan.
Yang menghalangi
Ada banyak perkara yang menghalangi atau bahkan menghentikan seorang salikin untuk sampai kepada Allah SWT, antara lain:
Syirik Khofi (syirik yang tersembunyi) akan terjadi pada diri seseorang. Jika seseorang menganggap dan memandang perbuatan yang muncul (terbit) dari makhluk, kemudian disandarkan (dikembalikan) semata-mata hanya pada makhluk dan tidak dikembalikan kepada Allah. Seseorang tidak akan syirik, bila memahami semua perbuatan yang dilakukan setiap makhluk, pada hakikatnya dari Allah dan dikembalikan pula kepada Allah. Makhluk itu hanya sebatas alat untuk menyatakan perbuatan Allah. Kendatipun wajib menyadari, “Allah tidak butuh alat untuk menyatakan sesuatu apapun”. Maha Suci Allah dari persangkaan kebanyakan orang awam.
Riya’ (berharap pada selain Allah). Persoalannya, suka dan acap kali memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain, atau mengharapkan sesuatu selain Allah dalam ibadahnya, walau syurga sekalipun yang diharapnya.
Sum’ah (kemasyhuran). Artinya, suka memproklamirkan diri pada khalayak seolah-olah ia telah melaksanakan berbagai macam ibadah dengan ikhlas. Maksud dan tujuannya, agar semua orang mengenal dirinya sebagai orang yang shaleh, juga tak lepas dari keinginan supaya dimuliakan dan diagungkan.
‘Ujub (membesarkan diri). Yakni sikap membesar-besarkan dan berlomba memperbanyak ibadah. Namun tujuan yang sebenarnya bukan keluar dari kedalaman hatinya, tetapi lebih cenderung mencuat dari rasa kagum dan terpesona yang berlebihan pada diri sendiri. Sikap semacam ini yang menyebabkan seseorang tidak mampu melihat anugerah yang Allah turunkan pada dirinya.
Saqata Awwaluhu Wuquufun Ma’al Ibadah (amalnya jatuh dan terhenti bersama ibadah). Maksudnya, dalam melihat nikmat dan anugerah Allah terdindingi oleh amal ibadahnya. Seseorang terkadang dalam mengerjakan amal ibadah acap kali merasa mendapat ridho Allah, padahal ia tidak melihat dan merasakan apapun tentang nikmat dan ridho Allah itu.
Hajbun (hijab atau tirai). Maksudnya, setiap amal ibadah yang dilakukan dengan penuh kesungguhan itu akan mengeluarkan cahaya, perhiasan dan keindahannya. Semisal “Aura positif” (ma’unah, karomah atau mu’jizat). Ma’unah, dirasakan bagi kebanyakan orang yang beriman (salikin pemula). Karomah, dinikmati oleh para arifin billah (orang yang mengenal Allah). Adapun Mu’jizat, khusus ada dikalangan para Nabi dan Rasulullah. Tidak sedikit para salikin yang merasakan ma’unah hingga lupa tujuannya dan berhenti hanya sampai di keindahan ”aura ibadah”.
Cara Mengatasinya
Pada dasarnya, semua yang menghalangi dan membatalkan seorang salikin sampai pada Allah, dapat diatasi. Caranya, dengan memandang dan menyaksikan (syuhud) bahwa semua perbuatan yang muncul dari makhluk, wajib dikembalikan kepada Allah semata.